Sekarang makin banyak saja orang yang mengaku berjuang untuk demokrasi. Ini tentulah bukan gejala yang membahayakan. Malah sebaliknya, perkembangan seperti itu haruslah dilihat sebagai sesuatu yang menggembirakan.
Tapi Amir Santoso tampaknya mempunyai catatan tambahan terhadap gejala demikian. Menurut pakar politik dari Universitas Indonesia ini, “Sejumlah individu yang akhir-akhir ini mengkalim melakukan gerakan demokrasi hanyalah merupakan pangeran yang terusir dari Istana.”
Amir Santoso mengemukakan sinyalemen tersebut pada sebuah panel diskusi di Universitas Bung Hatta, Padang, 15 Juni lalu. Pengajar senior univeristas Indonesia ini tak menjelaskan istana yang mana dan apa latar belakang terusirnya pangeran tersebut.
Amir Cuma menjelaskan ciri pangeran-pangeran yang terusir itu: “tak bisa menerima perbedaan pendapat, tak mau diajak berdiskusi, dan menganggap orang yang berbeda pendapat dengannya sebagai musuh”.
Baca Juga : Diplomasi Beras PM Sjahrir
Dengan penggambaran pangeran seperti itu, Amir secara tak langsung ingin mengatakan bahwa para pangeran yang berjuang untuk demokrasi itu sebenarnya sama saja tak demokratisnya dengan istana yang diperanginya. Keduanya tak bisa menerima perbedaan pendapat, tak mau diajak berdiskusi, dan menganggap orang yang berbeda pendapat dengannya sebagai musuh.
Dengan kata lain, para pangeran itu sudah terusir dan kini melawan istana, tapi tabiatnya masih tetap tabiat pangeran yang lazim di kalangan istana. Bagaimanakah kiata bisa percaya para pangeran seperti ini memperjuangkan demokrasi?
Jawaban Karl Marx
Untuk lebih mengerti kisah di balik terusirnya sejumlah pangeran tersebut , marilah kita kembali ke sumber cerita. Maka adalah Karl Marx pada abad silam yang mulai berkisah tentang pangeran yang terusir.
Dalam sebuah tulisannya mengenai pemberontakan petani Cina, Marx sampai pada kesimpulan bahwa pemberontakan demi pemberontakan selalu terjadi, dinasti bangkit dan jatuh di Cina,tapi perubahan nasib orang banyak tetap tak terjadi. Mengapa demikian? Jawab Marx: karena orang banyak hanya diperalat oleh para pangeran yang terusir dari Istana.
Baca Juga : Petani dan Negara
Hatta, maka semua keraton senantiasa penuh dengan intrik di antara para punggawa, para pangeran, para dayang-dayang, dan para selir. Semua orang ini berkompetisi untuk dekat ke telinga raja dan permaisuri. Dalam proses seperti inilah, tergusurnya sejumlah pangeran.
Pangeran yang tergusur dan terancam kepentingannya itulah yang pada umumnya melampiaskan dendam dengan jalan menghasut dan memimpin petani untuk menghancurkan keraton. Petani yang memang merasa tertindas oleh ulah aparat keraton – yang umumnya selalu bertindak over-acting – tentu saja gampang diajak membrontak.

Pangeran yang Terusir dan Petani Tanpa Nalar Kritis
Bisa dibayangkan petani tak cukup kritis untuk tahu apakaah sang pangeran akan melakukan perbaikan sistem demi mengurangi penderitaan orang banyak jika nanti berhasil menghancurkan keraton yang telah mengusirnya.
Maka tidaklah mengherankan jika setelah menggulingkan raja dan menggantikannya di singgasana, sang pangeran yang berhasil berkuasa karena dukungan para petani itu akhirnya mengulangi lagi kebobrokan istana tersebut, sejumlah pangeran akan terusir, menghasut petani, dan kemudian berhasil menggulingkan raja, menggantikannya di atas tahta. Di sini yang terjadi adalah lingkaran setan pergantian politik. Raja selalu berganti, nasib petani tak pernah berubah.
Baca Juga : Tanda dan Bahasa Kekuasaan
Ketika Amir Santoso berbicara tentang para pangeran yang terusir itu, saya kira dia tak hanya ingin menyindir para tokoh demokrasi yang banyak tampil secara mendadak akhir-akhir ini. Tapi sekaligus Amir juga mengingatkan kita semua betapa proses demookratisasi itu bukanlah urusan para “pangeran” saja, melainkan urusan kita semua.
Dalam rangka inilah para pakar berbicara tentang kelas menengah. Urusan ada-tidaknya kelas menengah pada suatu bangsa adalah urusan yang menyangkut berdaya-tidaknya masyarakat terhadap penindasan abdi dalem keraton serta tipuan para pangeran yang terusir.
Selama suatu masyarakat tak memiliki satu kelas menengah yang signifikan, selama itu pula masyarakat tesebut akan mudah menjadi sasaran permainan abdi dalem serta objek hasutan para pangeran yang terusir dari istana.